My Trip, My Family, My Sense of Love.
Sabtu, 12/03/2016
"Namun, satu hal yang mungkin bisa kau renungkan. Menunggu ada batasnya. Dan, kau akan tahu kapan harus berhenti dan mulai berjalan lagi. Meninggalkan tempat dimana kau pernah berjuang sepenuh hati, tetapi tak dihargai."
(Pada Akhirnya - anonymous)
Pernah mengamati pola dan tingkah laku seorang anak kecil?
Coba perhatikan dengan seksama, bila seorang anak menangis karena perbuatan orang dewasa maka dia tidak akan bisa dibujuk selain daripada orang yang telah membuatnya menangis tadi. Ya, anak kecil punya sikap yang tegas soal ini. Dia hanya mau menerima permen dari orang yang menjadi penyebab tangisannya meraung-raung. Dari permen yang diterimanya, dia belajar bahwa dirinya telah dimaafkan dan tidak lagi menerima hukuman karena perbuatan nakalnya. Dari permen yang diterimanya, dia belajar memaafkan sebab orang yang membuatnya terluka telah menebus kesakitannya dengan sesuatu yang manis.
Saat telah menjadi dewasa tidak sepantasnya jika kita bersikap seperti anak-anak. Orang dewasa tentu saja harus berpikiran secara dewasa. Hanya saja tanpa kita sadari ada beberapa perilaku dari masa kanak-kanak kita yang terbawa terus sampai sekarang. Seperti kejadian 'tangis dan permen' di atas. Harus saya akui, bisa jadi saya adalah salah satu orang dewasa dengan kasus seperti itu. Apa yang saya tunggu saat larut dalam air mata adalah orang yang menyebabkan air mata itu jatuh dengan membawa sebuah permen di tangannya. Meskipun bujukan dan iming-iming permen bukan sebagai tanda perdamaian melainkan salam perpisahan. Dia seorang akan mengakhiri tangisan itu lebih cepat dibanding banyak orang yang datang untuk menghibur.
Lalu tiba masanya saat semua terdorong hingga pada batasnya. Menunggu tak lagi seindah hari kemarin saat harapan masih ada. Ini sudah waktunya berhenti, dan memulai langkah baru. Tak perlu terlalu jauh, sebuah langkah kecil saja sudah membantumu lebih maju ke depan. Meninggalkan kenangan tentang rasa manis permen yang tak akan pernah kau peroleh. Kelak, karena keputusanmu untuk berani melangkah dalam hujan, kau akan mensyukuri itu. Sebab kau akan menerima bonus segelas coklat hangat dari pemilik kios. Ya, berjalanlah meninggalkan tempat yang hanya menawarkan ilusi kenyamanan, sekalipun di luar tengah hujan deras. Hadapi badainya, beli permenmu sendiri, dan minta maaf pada pemilik kios karena terlambat datang.
Masih ingat dengan rencana 'perjalanan cinta' yang saya kemukakan pada postingan saya yang lalu? Ini dia.
Saya sudah menghadapi 'badai' yang berasal dari kepongahan saya sendiri. Tak percaya lagi harapan akan 'permen' di tangan seorang pria yang (sepertinya) baik. Sudah saatnya berjalan keluar, menikmati cahaya matahari, merasakan manisnya hidup. Saya 'membeli permen' saya sendiri.
Oleh karenanya perjalanan ini harus dilalui. Hendak kemana? Kemana saja, sejauh Allah SWT masih mengizinkan untuk mencapainya.
Lalu berangkatlah, Saya, Kak Itha, Kak Nesty dan Musdah ke arah barat. Sama sekali bukan mencari kitab suci. Hanya mencari kehangatan di hati. Sabtu yang ini adalah pencetus api pada jiwa-jiwa muda yang menginginkan petualangan baru.
Minggu, 13/03/2016
Facebook Messenger :
Baharia Laitung
13 March at 06:43Sent from Web
13 March at 06:46
13 March at 06:48Sent from Web
13 March at 06:49
13 March at 06:49
13 March at 06:49
13 March at 06:50
Ada, sayangku. Ada.
Dan sebentar lagi jejak langkah menuju kesana akan dimulai.
Pagi yang bising adalah pertanda kalau keluarga kami sedang bersemangat menghadapi suatu kejadian penting. Minggu pagi ini misalnya. Akan ada sepenggal kecil pengalaman menarik dalam hidup yang sayang untuk dilewatkan. Dan sejak malam sebelumnya, rumah kediaman Bapak Abdulrachman Saleh sudah terdengar gaduh karena kedatangan enam orang anak gadis yang tak lelah berceloteh membicarakan tentang bagaimana kira-kira pengalaman yang akan mereka peroleh hari minggu ini.
Saya, Musdah, Kak Itha dan Kak Nesty merupakan rombongan yang pertama sampai. Menyusul Kak Thy dan Kak Ning kurang lebih setengah jam kemudian tiba di rumah yang terletak di lorong persis di samping SMP Negeri 1 - Boru ini.
Enam gadis yang tak ayal membuat rumah yang ditinggal sepi karena hanya dihuni oleh sepasang suami istri ini menjadi seperti habis terkena serangan bom. Ricuh. Tapi bukankah ini tanda bahwa semangat mereka sedang membara? Biarkan saja, sudah lama tak ada moment seperti ini.
Obrolan demi obrolan pun mengalir. Saya memberi pemahaman pada Kak Nesty, "Selamat datang di keluarga kami, Kak. Seperti inilah kami kalau sedang kumpul. Ributnya nih sesuatu, harap maklum jo."
Kak Nesty hanya bisa tertawa memaklumi. Hal yang sama yang kami berdua tertawakan saat masih bergelung dalam selimut karena kabut pagi belum pergi, sementara di dapur sudah ada suara-suara bising.
Rombongan selanjutnya dari Larantuka muncul di minggu pagi. Ini 2 pasang kekasih. Abang Hamran, Kak Chia, Indah dan Nanang. Sudah diputuskan pada malam harinya bahwa para lelaki yang menjadi pacar itu akan diserahi tugas mulia sebagai fotografer. Di situasi ini saya merasa beruntung tidak punya pacar. Di keluarga ini, dengan memacari salah satu gadisnya hanya akan membuatmu menerima rengekan manja dari para gadis lainnya.
Langit pagi yang cerah, aroma segar udara pedesaan, kisah hari ini sedang direstui Allah SWT. Kami menuju ke sana, tersembunyi di balik rimbun pepohonan, menyanyikan lagu dengan irama aliran air yang menawan, air terjun 'Wair Poar' - Desa Boru Kedang, Kecamatan Wulanggitang.
"Bukan mudah jalani ini untuk diarungi. Apapun jua bisa terbukti andai langkahmu tidak terhenti." (Menuju Puncak, Ost. AFI)
Sama sekali bukan hal yang mudah, meniti langkah demi langkah untuk jarak kurang lebih 6 km dalam jangka waktu 1,5 jam, terutama untuk rombongan 'anak rumahan' seperti kami. Apalagi menyamakan irama gerak lincah dari 4 orang bocah yang menjadi guide kami. Sendi-sendi para orang dewasa ini terlalu kaku dengan rutinitas di kota, Dek. Iri dengan kemampuan kalian menaklukan alam.
Tapi itu sama sekali tak mampu menghentikan langkah kami untuk bergerak maju walaupun medan tempuh cukup berat. Ini akan terhenti saat mencapai tujuan atau saat menemukan spot-spot menarik untuk diabadikan dengan kamera.
Seperti itu.
Canda dan tawa adalah pelampiasan terhadap letih yang mulai menghampiri. Tak cukup di rumah, di dalam hutan pun ada saja keributan yang menggema dari rombongan kami. Ah, keluarga ini menyimpan potensi sebagai bom waktu yang bisa meledak kapan dan dimana saja.
Coba perhatikan warna baju yang dikenakan Kak Itha dan Kak Nesty. Ungu. Dan mereka jadi bahan candaan karena ditakdirkan jalan berbaris di depan saya dan Indah.
"Kak e, lihat Kak Itha deng Kak Nesty nih sama-sama pake baju warna ungu po."
"Ihh. Dong pikir ini acara dong pung Puskesmas punya e, pake baju warna sama tuh!"
"Hoo tuh, Kak. Dong pung baju ungu nih bikin sa pung mata jadi janda le."
Saya menahan diri untuk tidak mengeluarkan ini.
"Haih. Kak pung hati ju su jadi janda, Dek."
Ini saat kami sudah mulai berjalan menyusuri setapak, setelah sebelumnya masih bisa bergandengan berdua. Saya menjaga tangan Musdah agar tetap erat di genggaman pada jalan itu. Bagaimanapun Musdah adalah orang pertama yang tak khawatir berada di belakang dengan saya sebagai pengendara duduk di depannya, pada perjalanan jauh pertama saya dengan membawa boncengan. Ada kepercayaan yang harus dijaga akan membuatmu hidup dalam indahnya amanah.
Semakin mendekati tujuan, semakin berat pula kondisi yang harus dilalui. Seperti yang saya jelaskan diatas. Semula bisa berdua, lalu harus sendiri. Ah, suasana yang tak asing.
Medan semakin berat, kondisi tubuh semakin menurun, dan susunan 'pemain' seringkali terganti. Ini tampak nyata pada formasi depan. Kak Ning adalah 'pemain' terdepan kami yang berada persis di belakang para guide cilik. Dan suatu ketika seolah mendapat kartu kuning dari wasit karena offside, Kak Ning tiba-tiba mundur. Lutut emang ti bisa pernah bohong e, Kak.
Susunan pemain yang tiba-tiba terganti mungkin punya inspirasi tersendiri buat Kak Ning, atau ada sesuatu yang Kak Ning baca dari punggung saya.
"Yu e, hati kalau su terluka emang ti bisa disembuhkan pake logika e."
Tanpa berbalik, saya lalu bilang.
"Karena hati punya logika sendiri yang ti bisa dipikirkan otak, Kak."
Uwaah. Semua orang tertawa hampir muntah. Nenas cantik di kiri dan kanan saya juga.
Dan kecantikan pesona alam yang terlukis pada air terjun 'Wair Poar' adalah bukti bahwa semesta ini diciptakan oleh Dzat Yang Maha Sempurna. Kesempurnaan memang bukan milik umat manusia, namun masih diberikan kesempatan untuk menyaksikan keindahan seperti ini membuat keseluruhan hari minggu ini menjadi sempurna. Sungguh luar biasa, tak menyisakan penat, tak berhenti berdecak kagum, dan tak henti bersyukur. Apa yang ada di hadapan kami sekarang, setelah melewati semua rintangan dan menghapus peluh adalah sebuah keindahan dan karunia.
Ini yang kami perjuangkan, dan ini yang kami terima. Subhanallah. 😍
Rasanya tak ingin berjalan pulang. Tapi siklus saya sedang tidak romantis. Harga yang harus kau tebus untuk sebuah wisata air terjun adalah membiarkan dirimu menyatu dalam nuansanya. Basah bersama dengan air terjun itu, bisa dibilang begitu. Namun ada bagian lain yang basah di tubuh saya, membuat saya sangat setuju dengan ajakan Nene Oncu untuk segera pulang. Toh saya juga sudah cukup menikmatinya, buktinya ada sekitar 200-an foto dalam gallery tablet saya tentang kisah ini. Meskipun Kak Itha tampak tidak puas dan mengeluhkan sedikitnya waktu untuk bergaya di 'Wair Poar'. Mianhe, kakak juga tahu kan kalau kebahagian terbesar seorang wanita adalah pada saat mengganti pemb*lut? Kita harus segera pulang, sayang.
Perjalanan pulang terasa lebih santai, karena tubuh sudah mulai terbiasa dengan adegan ini sebelumnya. Kaki saya sudah lebih ringan melangkah karena mendapat tambahan topangan dari sebuah tongkat. Tongkat yang diberikan oleh Abang Hamran, pria yang di perjalanan sebelumnya punya 2 buah tas wanita di bahu kiri dan kanannya. Pria memang sudah seharusnya memikul tanggung jawab di pundaknya. Bukan yang membiarkan pria lain bertanggung jawab menghapus air mata wanita yang dibuatnya menangis. Jadi pria memang berat, kawan. Kamu justru sengaja membuatnya lebih berat. Tak masuk akal.
Perubahan formasi di perjalanan pulang membuat saya punya banyak percakapan dengan Abang Hamran. Beliau berada tepat di belakang saya, tapi tetap memperhatikan hal kecil seperti warna merah tas bahu milik Kak Chia yang luntur di bajunya yang putih. Untuk sekedar informasi, posisi Kak Chia berada di depan saya. Kekuatan cinta memang selalu membuat decak kagum.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah saat beliau berkisah tentang pengalamannya mendaki. Sungguh luar biasa. Saya selalu ingin mendaki, dan ironisnya langkah saya dijegal oleh anak gunung itu sendiri. Ada batas yang ditarik jelas yang tak bisa saya lampaui. Yeah, saya memang hanya seorang anak pantai. Bermimpi berada di puncak bersama seseorang yang tak lelah membimbing langkah dari bawah kaki gunung.
Saya sudah dihantar pulang kembali ke pantai, dan memulai mimpi baru. Saya melihat sinar matahari terbit memantul dari hening lautan, dan kamu melihat sinar matahari terbit malu-malu dari balik awan di atas puncak. Jika kita mampu untuk melihat sinar yang sama, mengapa kamu merasa diri lebih hebat?
Membuat saya setuju dengan apa yang disampaikan Abang Hamran, bahwa seorang pendaki tak boleh memiliki sifat takkabur. Harta, gelar dan fisik yang rupawan terlalu berat untuk dibawa ke atas. Itu semua harus ditanggalkan di bawah agar lebih ringan ke atas. Tak boleh ada kesombongan, karena di atas kamu adalah dirimu sendiri, bukan siapa-siapa.
Untuk itu sobat, kamu harus pergi ke gunung lagi. Temukan lagi siapa dirimu di sana, mungkin saat kamu turun ke darat kamu lupa mengajaknya ikut. Terlalu lama di daratan membuatmu lupa diri. Pertimbangkan untuk mengikis jatuh semua keangkuhan yang tumbuh makin tinggi di terjalnya jalur pendakian.
Kami memutar arah untuk sampai ke rumah. Kata Kak Itha jalur yang kami lewati nanti akan ada pemandangan yang berbeda dari sebelumnya. Kami akan melewati persawahan dan bisa mencari keong emas untuk dibawa pulang sebagai menu untuk makan siang. Baiklah. Sudah bisa tertebak ya? Betul sekali, ini modus. Keperluan terselubung di persawahan adalah untuk sesi pemotretan selanjutnya. Begitulah.
Sebelum sampai ke persawahan, kami melewati rumah-rumah penduduk. Sederhana, tapi kaya akan beragam jenis tanaman yang tumbuh subur.
"Deuh, Kak. Lihat itu lomboknya subur sekali. Cakep banget ih!"
Kak Thy tak merasa janggal dengan pernyataan saya yang sinting itu, beliau hanya membalasnya dengan tenang,
"Kita banget tuh, Yu."
Belum cukup itu, untuk setiap sesi makan ultimatum Kak Thy yang paling ampuh adalah,
"Saya mau berbagi apapun, kecuali lombok. Jang marah, kalau tentang lombok, saya pelit."
Cinta bisa sesederhana itu ya, Kak Thy. Jatuh cinta tak mengenal batas. Tapi terlalu lama terpuruk dalam luka harus segera dibatasi.
Nikmati saja perihnya lalu bangkit untuk berjalan lagi. Berjalan di tepian, lebih berhati-hati, jangan terperosok lagi.
Theobroma cacao. Kenal? Kenalan dulu dong biar sayang. Itu nama latin untuk cokelat. Sayangnya, meski sudah lama kenal dengan biji cokelat yang di jemur di pelataran rumah, saya belum pernah sekalipun merasakan rasa dari buah cokelat itu sendiri. Mungkin karena syukur yang tiada henti akan karunia dari perjalanan ini, Allah lalu memberikan bonus bagi saya untuk mencicipi rasa alami dari buah cokelat. Beruntung sekali 😊. Perasaan yang konyol memang. Tapi saya masih bertahan hidup dengan semua kekonyolan ini.
Lihat. Betapa Tuhan tak pernah tidur. Bukan karena tak mengabulkan apa yang kau inginkan, tapi akan memberimu rasa yang kau butuhkan. Untuk belajar sesuatu, untuk kembali pada-Nya.
Keluarga ini mungkin bukan keluarga idaman bagi semua orang, tapi saya selalu mengidam-idamkan suasana seperti ini. Saat- saat kumpul bersama keluarga adalah anugerah terindah yang pernah kau terima.
Keluarga adalah tentang apa yang kau pertahankan, apa yang kau perdebatkan, apa yang kau kecewakan, dan apa yang kau lukai. Namun demikian, keluarga selalu adalah tempat yang kau tuju untuk pulang.
Pengalaman kami hari minggu ini mungkin bagi sebagian orang hanya dianggap sebagai hal yang biasa. Ini bahkan tidak bisa disebut petualangan, lebih terlihat sebagai piknik keluarga biasa. Hanya sekedar pengisi waktu luang. Tapi karena kondisi kami sedang tidak biasa, membuat perjalanan ini jadi istimewa. Bukan jarak tempuh yang mudah bagi penderita asma seperti Kak Itha, tidak kambuh dalam 12 km (pergi-pulang) jalan kaki yang mengerahkan seluruh kekuatan paru-parunya untuk mengembang. Bukan suasana hati yang nyaman bagi saya berjalan dengan fisik yang kehilangan bobot sangat drastis, di bawah teguran sayang orang-orang dalam rombongan, yang meminta saya untuk melepaskan diri dari cengkraman rasa gamang. Bukan suasana yang mudah dan nyaman bagi Kak Nesty untuk ikut menyesuaikan diri dengan kericuhan keluarga ini. Saya sangat berterima kasih kepada beliau karena mau bersusah payah tetap tersenyum untuk semua kekacauan yang kami timbulkan. Jangan kapok untuk bergabung, Kak. Kita masih punya rencana jelong-jelong lagi, kan. 😉
Dan jangan pernah merasa asing. Mari menikmati hidup yang akan berubah makin asing bila dijalani dengan banyak keluhan. Karena kita tak akan pernah tahu kapan orang terdekat kita berubah menjadi asing. Mungkin dia lelah. Kurang piknik.
Seperti ini. Di hari minggu. 😊
Rabu, 16/03/2016
09:07 WITA.
*incoming call*
"Halloo, sayaaang"
"Di rumah toh? Libur kan ini hari?
"Iyaa"
"Temani Fah ke salon e. Tapi sebentar habis dari kantor dulu"
"Oke. Sa ju mau jadi ibu rumah tangga dulu, beres-beres rumah"
"Hmm. Jangan lupa makan, sayang. Badan tu"
Itu ici saya (mama kecil, tante, -red) Musrifah Syadiah Muhammad. Kurang dari 3 minggu lagi akan melangsungkan pernikahan. Sepupu kandung mama saya dengan umur lebih adik 3 hari dari saya. Kami seusia tapi beda kasta. Kelak saat punya anak, saya dan anaknya Ifah akan menjadi sepupu. Namun lain cerita bila saya yang punya anak, itu akan menjadi cucunya Ifah. Selalu ada hal unik di keluarga ini, dan saya mensyukuri itu.
Kekhawatiran Ifah hari ini mengenai nafsu makan saya yang berkhianat pada tubuh saya, sama sekali bukan tema baru. Hal yang sama telah menjadi kekesalan H. Muhammad Wadan akan tubuh kurus cucunya, beberapa minggu terakhir. Begitupun dengan rombongan wisata 'Waipoar' kemarin yang memprotes badan saya yang makin ringkih.
Mereka semua orang-orang dengan cinta yang tulus.
Dan lagu cinta akan menghampiri keluarga ini sebentar lagi. Geliat persiapan pernikahan makin terasa. Oleh karena itu perjalanan wisata berikutnya kami putuskan untuk pergi selesai pernikahan Ifah nanti. Karena Maret ini akan di isi banyak kesibukan. Lagipula untuk mempersiapkan pekan Semana Santa, seluruh awak IGD sudah diperintahkan untuk siaga satu oleh kepala ruangan.
Saya mulai mencurigai bahwa semua kesibukan ini sengaja Allah kirimkan kepada saya untuk mendukung tekad saya memperbaiki diri.
Dalam pesan BBM-nya saat saya menceritakan tentang pengalaman kami di air terun 'Wair Poar', Nona Sumarni menyatakan bahwa dia senang karena saya sudah bisa eksis lagi. Tentu saja harus, Non. Ini semua demi ke-eksisan geng bidara. Eh.
Saya tidak mau lagi terlihat berantakan di hadapan orang-orang yang masih peduli dan sayang pada saya. Saya juga tidak mau lagi terlihat berantakan di hadapan pemilik semesta ini. Saya menerima teguran-teguran yang Engkau berikan ini sebagai pembelajaran, Ya Robb. Saya sedang berusaha untuk menjadi lebih baik.
Bukan demi dewa, tapi demi Tuhan saya tidak ingin berubah menjadi lebih baik demi untuk mendapatkan seorang pria yang lebih baik. Itu nasihat yang selalu saya terima. Lepaskan saja, kelak kau akan memperoleh yang lebih baik.
Bagaimana bisa seorang gadis biasa tanpa keistimewaan seperti saya berani mendamba seorang pria baik? Bila pemuda yang saya anggap baik sebelumnya saja memperlakukan saya selayaknya sampah, punya keberanian dari mana saya menginginkan kemewahan berupa seorang pria yang lebih baik lagi? Itu terlalu mewah buat saya. Karena tujuan saya memperbaiki diri adalah agar tidak lagi ditinggal pergi demi seorang yang lebih baik. Rupanya saya belum cukup baik di mata para pria sehingga tak pernah ada yang mau tinggal lebih lama.
Lebih lama lagi berada dalam keangkuhan hanya akan membuat nyala api yang kau ciptakan merambat lebih lebar dan sewaktu-waktu akan menyerangmu balik. Dan dalam waktu-waktu itu saya bisa saja sudah berubah menjadi berlian, sementara kamu masih sibuk mengkoleksi permata.
Permata-permata yang kamu punya sangat indah, sayang. Sangat sempurna. Tapi kamu tak mungkin menyatukan semua itu untuk membentuk sebongkah berlian. Batu berharga sesungguhnya ada di dalam hati kamu. Namun kamu sengaja membuat mata hatimu buta untuk tidak melihat itu.
Saya sudah memulai langkah kecil untuk maju. Tak berniat untuk kembali, sebab rasa yang ditinggal mati akan menimbulkan bekas. Terima kasih untuk tidak bersusah payah datang dan menghapusnya. Cinta dari orang-orang yang benar-benar tulus akan menghapusnya dengan lebih baik.
And well, you know what? I've got oneless problem without you.
Comments
Post a Comment